Rabu, 01 Februari 2012

Pencegahan kekeringan

Sadar Lingkungan, Upaya Pencegahan Kekeringan
(Antara/Noveradika) Seorang warga mengambil air di tengah Telaga Tritis yang mulai mengering di Dusun Njaten, Ngestirejo, Tanjungsari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Memasuki musim kemarau sejumlah kawasan di Gunung Kidul mengalami kekeringan.
Oleh Rudrik Syaputra dan Abna Hidayati. Kondisi kekeringan di sebagian wilayah di Indonesia merupakan kejadian berulang yang terjadi setiap tahunnya di sebagian wilayah yang tidak memiliki cadangan air mamadai. Kekeringan terjadi di sebagian daerah di Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terkena dampak cukup parah.
Penyebab kekeringan tersebut sering dikaitkan dengan faktor iklim, dimana pada musim kemarau intensitas hujan akan berkurang signifikan.

Menurut Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Padang (UNP) Prof. Dr. Eri Barlian, M.Si, perubahan panjang musim hujan dan kemarau di Indonesia juga ditengarai karena adanya perubahan iklim secara global.

"Kasus semacam ini dipengaruhi oleh perubahan iklim terhadap curah hujan dan temperatur yang terjadi, khususnya sebagian besar wilayah di Indonesia," katanya, di Padang.

Akibat buruk dari kekeringan dapat berimplikasi pada kerawanan pangan di daerah yang terkena dampak. Tidak hanya itu, dampak perubahan iklim juga mangacam ketersediaan air bersih bagi masyarakat dan kesulitan untuk mengakses sumberdaya air.

Gejala iklim tersebut, menurutnya, merupakan salah satu faktor dominan yang mempengaruhi. Kondisi alam dari keadaan iklim tertentu sangat berkaitan erat dengan dampak yang akan ditimbulkan.

"Di saat musim kemarau intensitas hujan sebagai salah satu sumber pasokan air juga akan berkurang signifikan," katanya.

Ia menyebutkan kekeringan yang melanda sebagian daerah di Indonesia cenderung dipengaruhi akibat perubahan iklim terhadap curah hujan dan temperatur di kawasan tersebut.

Ia mencontohkan, jika perubahan iklim menyebabkan anomali curah hujan di kawasan tertentu, dimana curah hujan tinggi di bulan Desember kemudian menghilang di Januari lalu tinggi kembali pada bulan Februari.

Hal semacam ini, katanya, tidak biasa terjadi pada tahun normal, dimana pada bulan Januari curah hujan seharusnya masih cukup tinggi.

"Gejala seperti itu memang telah terjadi di kawasan yang terkena dampak kekeringan," katanya.

Meski Indonesia tergolong negara yang memiliki sumber daya air berlimpah di dunia, namun jumlah sumber air yang besar itu ternyata tidak merata di seluruh Indonesia.

Sehingga, ada sebagian daerah yang minus dan dihadapi kekeringan dan ada pula yang surplus hingga dilanda banjir dan tanah longsor. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kekeringan juga dipengaruhi oleh topografi suatu kawasan.

Di Sumatera Barat hingga saat ini intensitas hujan dan sumberdaya air alami cukup terjaga dan berada pada taraf aman. Hampir 80 persen kawasannya berupa hutan. Sumatera Barat juga memiliki banyak sungai besar yang terus dialiri air dari sungai kecil di hulu, yakni hutan dan perbukitan.

Guru Besar Ilmu Lingkungan Universitas Negeri Padang (UNP) Prof. Dr. Eri Barlian, M.Si mengatakan, potensi sumber air yang besar tersebut juga patut dikhawatirkan akibat masih maraknya perilaku tidak harmonisnya masyarakat terhadap alam.

"Yang menjadi kekhawatiran di Sumatera Barat saat ini adalah perilaku kurang peduli terhadap hutan dan sumberdaya air itu, meskipun banyak namun rawan perambahan dan sumberdaya air mudah terkontaminasi pencemaran akibat limbah," katanya.

Faktor perubahan iklim itu sendiri, berawal dari perilaku yang tidak sadar lingkungan. Akibatnya, berimplikasi kepada perubahan iklim global yang juga melanda Indonesia. Perubahan iklim yang menyebabkan anomali cuaca, berdampak langsung terhadap curah hujan.

Sementara itu, sumberdaya air alami juga dipengaruhi oleh faktor resapan air tanah, baik di perbukitan dan hutan maupun disekitar kawasan pemukiman masyarakat.

"Sumberdaya air di Sumbar juga sangat bergantung sejauh mana kondisi kawasan hutannya," kata dia.

Kekhawatiran tersebut tampaknya berbanding lurus dengan data temuan kerusakan hutan di Sumbar dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Dinas Kehutanan Sumatera Barat mencatat sejak 2005 terjadi fluktuasi kasus pembalakan liar di Sumbar. Pada 2005 ditemukan 35 kasus (290,060 meter kubik), pada 2006 sebanyak 55 kasus (654,8448 meter kubik), pada 2007 ada 33 kasus (2.138, 1345 meter kubik), pada 2008 sebanyak 41 kasus (19,33 meter kubik) dan 2009 tercatat 34 kasus (506,4862 meter kubik) kayu ilegal.

Daftar di atas merupakan kasus yang tertangani oleh Dinas Kehutanan Sumbar, diperkirakan masih banyak lagi kasus pambalakan liar yang terjadi, baik yang dilakukan oknum masyarakat, maupun oknum aparatur pemerintahan.

Sementara itu, Badan Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah II Sumatera Barat menyatakan, kerusakan hutan Kawasan Tanaman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di wilayah Sumbar mencapai 3.520 hektare pada empat kabupaten.

Dari hasil orientasi lapangan dan pemutakhiran data pada empat provinsi wilayah kerja Balai Besar TNKS -Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi dan Sumatera Selatan- telah terjadi kerusakan hutan berupa areal perambahan dan kawasan kritis di TNKS yang perlu di rehabilitasi dengan total seluas 41.303 hektare.

Kerusakan hutan berupa areal perambahan dan kawasan kritis di TNKS di Sumbar lebih dikarenakan aktivitas pembukaan lahan perkebunan oleh masyarakat di sekitar kawasan TNKS tersebut.

Kerusakan hutan kawasan TNKS Sumbar yang mencapai 3.520 hektare di Sumbar terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan seluas 2.005 hektare, Solok seluas 185 hektare, Solok Selatan 830 hektare dan Dharmasraya 500 hektare.

Pembalakan liar

Terdapat dua faktor signifikan yang menjadi penyebab kerusakan hutan di Sumbar.

Pertama kerusakan hutan terjadi akibat pembalakan liar yang dilakukan oleh oknum aparatur pemerintah, kedua dikarenakan aktivitas pembukaan lahan perkebunan secara berlebihan oleh masyarakat di sekitar kawasan TNKS.

Menyikapi hal tersebut, Dinas Kehutanan Sumbar berupaya mengupayakan alternatif terkait keamanan hutan di Sumbar.

"Dishut mengupayakan pengamanan dan perlindungan hutan melalui pemantapan koordinasi, pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar kawasan hutan," kata Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Hendri Oktavia.

Kegiatan yang melibatkan masyarakat dikoordinir melalui Tenaga Pengamanan dan Perlindungan Hutan Berbasis Nagari (PPHBN), katanya.

"Dishut sejak 2005 berupaya merangkul masyarakat, tokoh dan pemuka adat serta pemuda-pemuda Nagari sekitar hutan, guna meningkatkan kepedulian akan kelestarian hutan sekitarnya," katanya. Organisasi kemasyarakatan Nagari yang beranggotakan 10 hingga 20 orang itu, menurutnya cukup efektif menekan angka penyalahgunaan pemanfaatan hutan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab di kawasan hutan.

Dishut mengklaim, melalui upaya tersebut pihaknya berhasil memberi pemahaman kepada masyarakat Nagari sekitar kawasan hutan untuk merawat, melestarikan serta menjaga ekosistem kawasan hutan.

Hingga saat ini telah ada 86 titik Tenaga Pengamanan dan Perlindungan Hutan Berbasis Nagari di Sumbar, jumlah ini akan selalu ditingkatkan tiap tahunnya.

Selain itu, pihaknya juga berupaya untuk menggiatkan patroli hutan guna meminimalisir dampak kebakaran lahan di sekitar hutan, yang dikhawatirkan akan menyebar hingga ke kawasan hutan.

Dishut juga mengupayakan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya hutan guna meningkatkan kesadaran masyarakat menjaga kelestarian hutan dan sekitarnya.

"Dishut juga membentuk kelompok masyarakat peduli api (MPA) guna memimalisir pembakaran lahan dan dampaknya terhadap kawasan hutan," kata Hendri. (ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar